Tradisi PKK Maba, Kekacauan Akal Sehat
If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
Dorothy Law Nolte – Children Learn What They Live
SALAM PERS MAHASISWA!!!
Puji Tuhan apabila Buletin Pengenalan Kehidupan Kampus (PKK) Maba sampai di tangan pembaca sejak hari pertama. Hal tersebut menandakan bahwa akal sehat masih terjaga, dan tentu saja kebebasan menerima dan menyebarluaskan informasi. Bagi yang tidak sempat merasakan kedahsyatan pembukaan tingkat universitas, jangan bersedih. Toh kehadiran maba bukan hal utama. Yang penting fase pertama eksistensi kampus tercapai. Terutama pencitraan sebagai kampus anti radikalisme. Jangan coba-coba jadi radikal kalau belum siap bertemu intel di kampus.
Di hari kedua hiruk-pikuk PKK Maba, saatnya lebih mengenal bagaimana penyambutan mahasiswa baru di 16 fakultas. Ketika jargon fakultas sudah mulai diteriakkan, disana muncul keganjilan. Dari yang berusaha menebar semangat ala perjuangan hingga menyebut nama hewan, terdengar lantang dan menguras tenaga. Aplikasi penerapan jargon digunakan saat mahasiswa ingin menonton pertandingan antar fakultas, yang kadang malah berujung keributan. Selepas itu tidak dibahas di skripsi maupun laporan.
Ada tradisi untuk membatasi interaksi di PKK Maba. Alasannya agar mudah mengatur maba yang masih terbawa suasana sekolah. Maba cenderung suka berbicara dengan teman seangkatan daripada, contohlah dekan fakultas, dosen, karyawan, maupun panitia, apalagi koordinator lapangan dengan berbagai istilah. Panjang perdebatan, intinya: Simpan energi untuk jargon dan mobilisasi, karena keduanya merupakan bentuk interaksi yang melelahkan. Ditambah dengan ceramah satu arah bagai serial televisi, lengkap sudah penderitaan.
Jadi, apakah maba siap untuk mendengar kalimat seperti, “TIDAK ADA INTERAKSI!!” atau “LANGKAHNYA DIPERCEPAT!!!” yang disambung dengan kata “JANGAN LARI!!” secara lebih intens? Atau memikirkan ulang manfaat PKK Maba? Syukur kalau sempat terbesit pertanyaan mendasar, “Kenapa ada PKK?”sehingga PKK Maba bisa lebih terbuka. Belum lagi masalah para birokrat yang menjadi pemangku kebijakan. Kira-kira mampukah PKK menjawab tantangan yang demikian, di tengah kacaunya kebijakan kampus kita?
Mungkin itu saja, dan sebagian besar tradisi tidak berlaku ketika menjalani masa perkuliahan. Jangan mengira harus botak sampai lulus. Ketika jadi mahasiswa, urusan panjang rambut hanya menjadi masalah kontrak kuliah dengan dosen anti gondrong. Atau pelarangan untuk merias wajah bagi mahasiswi, tinggal perhatikan saja wajah akun media sosial mahasiswi gaul di kampus. Yang pasti sedikit contoh kekacauan dari PKK Maba ini sepantasnya direnungkan, agar tidak menjadi lingkaran setan. Gali esensi PKK, buang tradisi nirfaedah.
Selamat membaca!