Polemik Peraturan Anti Radikalisme
Oleh: Saadillah Nur Fahmi*
Hasil Focus Group Discussion (FGD) Tanggal 6-7 Juni lalu menghasilkan rancangan peraturan penanggulangan penyebarluasan paham organisasi terlarang dan pelanggaran kesusilaan. Kampus tinggal menyelesaikan satu langkah perancangan peraturan, yakni pembahasan di rapat senat. Mengenai perdebatan radikalisme yang menitikberatkan pada tataran ide atau melalui tindakan sudah menjadi pembahasan yang menjemukan. Radikalisme merupakan sebuah gagasan yang membentuk perilaku radikal. Sementara radikal selalu menuntut adanya perubahan dengan keras. Kampus menawarkan apa yang disebut kontra radikal. Mampukah apa yang disebut kontra radikal mengatasi masalah yang muncul akibat radikalisme?
Kita coba masuk kepada wacana peraturan anti radikalisme yang muncul dari reaksi kampus akibat stigmatisasi yang muncul di UB periode satu setengah tahun terakhir. Yang pertama adalah stigma UB sebagai salah satu kampus yang disinyalir terpapar radikalisme. Gerakan eksklusif semacam Gema Pembebasan dan ruang diskusi yang mengusung Marxisme sama-sama dalam pengawasan. Apabila kita mengacu kepada definisi radikalisme menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terdapat beberapa kriteria seperti anti Pancasila, mengatasnamakan agama, serta menganjurkan kekerasan. Kasus radikalisme berbalut agama menyebabkan kampus berani untuk menyebut nama organisasi seperti: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lia Eden, Negara Islam Indonesia (NII), Gerakan Fajar Nusantara, Satrio Piningit Weteng Buwono, Islamic State (IS), dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Wajar bagi UB sebagai institusi negara mengambil kebijakan melarang organisasi tersebut.
Nama-nama organisasi ini tentu masih banyak perdebatan, selain karena UB juga dikenal memiliki keberagaman. Namun dalam tataran politik kampus, kondisinya berbeda. Senada dengan pernyataan Azyumardi Azra, “Kelompok Cipayung” yang kurang bertaji seolah kehilangan masa berjayanya. Dan peran yang strategis, semisal pada pembinaan kerohanian mahasiswa justru diisi oleh orang yang radikal. Terlepas dari apakah orang tersebut menganjurkan cara kekerasan.
Yang kedua mengenai kasus UB sebagai kampus yang memiliki mahasiswa Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT. Kasus yang ini mencuat di media pada akhir Juli tahun 2017 lalu, memaksa UB untuk mengambil langkah represif terhadap masyarakat LGBT. Rancangan peraturan yang dimaksud bertujuan untuk melarang mahasiswa untuk mengikuti organisasi dan komunitas yang radikal. Apakah LGBT termasuk pengusung radikalisme? Jawabannya sangat tergantung pada individu yang bersangkutan.
Ada perbedaan mencolok terhadap dua kasus penyebab munculnya rancangan peraturan tentang penanggulangan penyebarluasan paham organisasi terlarang dan pelanggaran kesusilaan. Pada kasus organisasi berlatar belakang Islam yang dilarang, mahasiswa eksakta lebih rentan terpapar radikalisme. Sedangkan untuk kasus LGBT justru didominasi oleh mahasiswa sosial humaniora. Mendudukkan permasalahan paham organisasi terlarang dengan pelanggaran kesusilaan menurut saya kurang tepat. Satu yang bisa ditarik benang merah dari keduanya adalah bahwa mereka, orang yang menjadi anggota organisasi terlarang dan pelaku pelanggaran kesusilaan sama-sama rawan dipersekusi oleh lingkungan sosialnya. Dan persekusi sosial sebenarnya muncul akibat dari stigma buruk terhadap keduanya. Kampus tahu benar bahwa paham organisasi terlarang berada pada ranah institusi, sedangkan pelanggaran kesusilaan ranahnya individu, lantas apa yang membuat pihak kampus menjadikan rancangan peraturan tersebut menjadi satu bagian? Padahal perbedaan tersebut cukup jelas.
Selanjutnya adalah masalah sanksi administratif, apakah perlu? Saya tidak sepakat. Sedari awal pihak kampus mengetahui bahwa pelanggaran etik seharusnya dilakukan pendekatan dan pembinaan terlebih dahulu. Hukuman maupun sanksi sebaiknya dijatuhkan apabila individu yang bersangkutan menolak dengan tegas. Bukan tidak mungkin sanksi yang dijatuhkan justru membuat individu semakin berjarak dengan lingkungan sosial.
Saya coba memaparkan kemungkinan apabila rancangan peraturan ini sah, akan muncul beberapa problem yang akan menjadi perhatian bersama. Yang pertama adalah bahwa rancangan peraturan ini dibuat berdasarkan norma tertentu yang membatasi mahasiswa, seperti pengaturan jam aktivitas kampus yang mana pada kebijakan sebelumnya sudah banyak menuai protes dari mahasiswa. selanjutnya mengenai ketentuan rehabilitasi apabila orang tersebut tidak terbukti melakukan pelanggaran, bagaimana cara kampus untuk mengembalikan hak-haknya?
Kita perlu mempertanyakan kembali adanya mata kuliah Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan agama yang selama ini telah berjalan di kampus. Tidak cukupkah memberikan wawasan terhadap keberagaman? Dalam pemaparan yang ada di strategi pencegahan, terdapat Pengenalan Kehidupan Kampus menjadi salah satu strategi kontra paham organisasi terlarang. Bukannya agenda-agenda tersebut sudah berjalan sejak lama? Saya khawatir radikalisme di kampus kita seperti fenomena gunung es, hanya tampak di permukaan saja?
Daripada kampus merancang peraturan yang terkesan reaksioner, lebih baik mulai saja dikursus mengenai adanya pembubaran-pembubaran organisasi terlarang, seminar isu LGBT, dan berkomunikasi dengan mahasiswa. Karena peraturan yang telah direncanakan tidak lantas mengurangi tingkat radikalisme di kampus. Solusi memasukkan intel juga bukan langkah bijak, hanya akan menambah konflik di dalam kampus. Sudah saatnya para birokrat membuka telinga terhadap aspirasi, tidak melulu menjadi agen pemerintah.
*Awak Kavling 10 2016