Mahasiswa dan Pendidikan Bersama Masyarakat
oleh Asry P. Sihombing*
Selamat memasuki dunia mahasiswa. Dunia yang dulu dibayangkan begitu sumringah dengan pakaian sebebasnya, jadwal seenaknya, atau mungkin uang saku yang lebih banyak. Selamat menanggung gelar maha. Gelar dimana hanya 30% diantara pelajar Indonesia yang mampu menyandangnya, bahkan hanya 11% dari antara masyarakat di Indonesia. Berbanggalah, karena setelah itu, siapkan mental dan hati nurani untuk menjadi mahasiswa yang sesungguhnya.
Mahasiswa perlu menyadari bahwa pendidikan yang sesungguhnya bukan soal infrastruktur. Paulo Freire menyatakan, kita perlu mengilhami bahwa pendidikan dilakukan ‘bersama’, bukan ‘untuk’ masyarakat. Konsep bersama ini menuntut perubahan persepsi semula yang beranggapan bahwa masyarakat adalah objek yang harus dicekoki pendidikan. Namun dengan konsep yang ditawarkan Freire, tiap-tiap orang harus sadar bahwa masyarakat penerima pendidikan adalah subjek aktif yang menuntut pendidikan yang menjamah kehidupan secara langsung.
Ada banyak lini yang dapat dijamah untuk memperbaiki hiruk pikuknya kenyataan pendidikan Indonesia. Di tengah keadaan seperti ini, mahasiswa melalui universitas, komunitas, ataupun individu secara tak langsung menawarkan penawaran menarik untuk wajah pendidikan Indonesia yang baru. Secara tidak langsung, selain duduk didalam ruang kelas, seorang mahasiswa harus mampu turun langsung kepada masyarakat, melakukan, bahkan memulai pendidikan itu sendiri dari sana.
Pendidikan melalui masyarakat sepertinya juga sudah diisyaratkan pada bahasan tentang universitas. UU No. 12 Tahun 2012, Pasal 1 Ayat 9, menuliskan bahwa adalah sebuah kewajiban bagi universitas untuk mengadakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kewajiban ini yang kemudian dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Mengamalkan apa yang dituntut dalam Tridharma ini tidaklah muda. Menyeimbangkan antara pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat tentu membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Maka, sering kali pengabdian masyarakat terabaikan atau hanya dilaksanakan ala kadarnya.
Sebagai mahasiswa, berbuat untuk mewujudkan mimpi ini adalah sebuah kewajiban. Harus disadari bahwa mahasiswa masa kini adalah generasi emas 2045 yang dicanangkan sejak lama. Pemuda yang saat ini berumur 18-21 tahun merupakan bagian dari bonus demografi yang diharapkan dapat mewujudkan terealisasinya Indonesia emas pada tahun 2045. Dengan umur yang matang tersebut, mahasiswa harusnya dapat melakukan sesuatu untuk mewujudkannya. Karena ia adalah bagian dari generasi emas juga sebagai penikmat hasil dari generasi emas. Untuk itulah peran mahasiswa dalam bidang pendidikan sangat dibutuhkan untuk mewujudkannya. Bukan hanya sebuah wacana semata, pendidikan ‘bersama’ masyarakat harus diaplikasikan secara nyata.
Sebagai pengenyam pendidikan tinggi, berperan dalam pendidikan alternatif adalah salah satu kerja mulia yang dapat dilakukan mahasiswa. Pendidikan alternatif berupa pendidikan nonformal menjadi jalan lain bagi Indonesia memperoleh kualitas pendidikan yang lebih layak. Hal ini tentu akan membantu mahasiswa untuk menjadi mahasiswa sesungguhnya yang mengaplikasikan poin ketiga Tri Dharma, juga membantu masyarakat belajar tentang pendidikan itu sendiri. Sekali lagi, pendidikan bukan soal infrastruktur saja. Pendidikan bisa dimana saja, kapan saja, oleh dan untuk siapa saja.
*Pemimpin Umum UAPKM UB 2017/2018