Memaknai Hari Kartini dan Ekspektasi Sosial

0

oleh: Aulia Nabila*

Linimasa media sosial saya hari ini ramai dengan akun-akun baik akun resmi maupun akun pribadi yang mencoba memaknai Hari Kartini dengan cara masing-masing. Harus saya akui, keberadaan media sosial memudahkan begitu banyak orang dalam memberikan pandangan akan sebuah fenomena. Ada yang memaknai Hari Kartini dengan mengajak masyarakat secara sederhana mengingat bagaimana sejarah di balik tanggal 21 April itu. Ada yang memaknainya sebagai pengingat untuk menentang kultur patriarki yang ada di masyarakat. Ada yang memaknainya dengan mempertanyakan apakah yang diperjuangkan perempuan masa kini masih melulu tentang kesetaraan. Ada pula yang menyampaikan bahwa sebagian perempuan di luar sana tidak terlalu beruntung sehingga mereka tidak membutuhkan momen Hari Kartini untuk menjadi sosok pekerja keras agar keluarganya dapat bertahan hidup. Ada lagi yang mengaitkan Hari Kartini dengan fenomena perilaku perempuan muda saat ini dan menyayangkan karena hal tersebut berlawanan dengan apa yang dicita-citakan oleh Kartini.

Pertama-tama saya melihat hal-hal ini sebagai fenomena secara keseluruhan. Melalui media sosial, terlihat begitu jelas bahwa masyarakat mencoba memberitahu para perempuan akan apa yang seharusnya ia lakukan. ‘Kejar cita-citamu! Kejar cita-citamu tapi jangan lupa keluarga di rumah! Tak perlu melulu bicara soal kesetaraan! Jangan berperilaku tidak senonoh, ini bukan yang diinginkan Ibu Kartini!’

Saya sesungguhnya mengapresiasi antusiasme masyarakat akan hal ini, karena ini menunjukkan bahwa sekarang persoalan perempuan di dalam masyarakat telah banyak diperhatikan oleh khayalak. Namun hal ini menunjukkan betapa beragamnya penilaian masyarakat mengenai perempuan dan apa yang harus dilakukannya. Perempuan begitu dihargai dalam dunia kerja dan tidak diragukan lagi prestasi-prestasinya di bidang akademis, namun juga banyak diingatkan untuk tidak lupa akan kewajibannya di rumah, juga untuk menjaga perilakunya dan fitrahnya agar tidak diganggu.

Saya tertarik dengan satu fenomena yang sempat saya sebutkan di atas, yakni bagaimana akun-akun media sosial menyikapi perilaku sebagian siswi-siswi, yang menurut mereka, tidak mencerminkan bagaimana perempuan muda seharusnya, dan menunjukkan foto-foto mereka dan menyatakan bagaimana mereka salah, tidak pantas dalam berpakaian dan bertingkah laku. Kemudian akun lain menyatakan bagaimana hal tersebut berlawanan dengan apa yang dicita-citakan oleh Kartini.

Saya sendiri bukannya setuju dengan perilaku-perilaku demikian. Namun alangkah baiknya jika kita tidak memberikan penghakiman semata-mata kepada perempuan-perempuan muda ini dan menyatakan bahwa dirinyalah yang paling benar. Mengingatkan siswi-siswi agar memperbaiki perilaku tidak sesederhana membuat tulisan di media sosial dan menunjukkan ‘keprihatinan’ akan salahnya mereka dalam berperilaku. Harus diingat bahwa perilaku-perilaku demikian telah terbentuk dari proses yang panjang sejak dari pendidikan dalam keluarga, lingkungan pertemanan, kemudian bagaimana sekolah-sekolah itu sendiri menerapkan norma kesopanan, walau sesederhana peraturan soal pemakaian seragam. Menyalahkan perempuan-perempuan ini dengan menunjukkan kepada semua orang bahwa mereka salah tidak akan memperbaiki perilaku mereka, pun dengan menyalahkan mereka atas kezaliman yang mereka alami sebagai konsekuensi bagi mereka sendiri.

Masih banyak contoh-contoh selain di atas yang menunjukkan sifat judgemental masyarakat terhadap perilaku-perilaku tertentu, dalam hal ini perilaku perempuan-perempuan muda. Hal-hal ini hampir semuanya terlihat di media sosial, karena tak dapat dipungkiri bahwa di masa kini media sosial menjadi wadah yang paling praktis untuk mengemukakan pendapat, bahkan untuk memberikan penilaian dan ujaran kebencian sekalipun.

Ah, sayang sekali. Apa yang dicita-citakan Ibu Kartini memang sebagian sudah tercapai, karena permasalahan perempuan di masa kini bukan lagi tentang memperjuangkan hak yang sama untuk belajar, bekerja, dan memimpin. Akan tetapi, masih banyak perempuan yang mengalami kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Masih banyak perempuan yang mengalami krisis kepercayaan diri dan meragukan kehebatannya sendiri, membanding-bandingkan dirinya dengan perempuan lain. Masih banyak perempuan yang menghadapi ketidakadilan dalam perburuhan. Masih banyak yang harus menghadapi stigma-stigma buruk masyarakat karena kesalahan yang dilakukannya di masa lalu.

Sesungguhnya baik laki-laki maupun perempuan memiliki anugerahnya masing-masing untuk diciptakan demikian, yang mana anugerah itu juga datang seiring tanggungjawab masing-masing. Mereka harus bekerja bersama agar masyarakat,di manapun itu, terus mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Alangkah baiknya jika baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi apapun yang mereka mau, karena semua berhak untuk memiliki mimpi, dan terlebih lagi jika bisa bekerjasama untuk meraih mimpi-mimpi itu. Tidak akan ada perempuan baik yang melupakan kodratnya, dan dengan demikian bagi saya, cara menghargai perempuan cukup sesederhana mengingat ibu kita masing-masing. Betapa luar biasanya kesabaran dan perjuangan ibu-ibu kita itu.

Untuk melengkapi momen, tulisan singkat ini saya akhiri dengan kutipan kata-kata dari Kartini yang saya rasa dewasa ini perlu lebih diperhatikan oleh masyarakat kita. Berikut kata-kata beliau:

Salah satu daripada cita-cita yang hendak kusebarkan ialah: Hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya, baik tidak terpaksa baikpun karena terpaksa, haruslah juga segan menyakiti mahkluk lain, sedikitpun jangan sampai menyakitinya. Segenap cita-citanya kita hendaklah menjaga sedapat-dapat yang kita usahakan, supaya semasa mahkluk itu terhindar dari penderitaan, dan dengan jalan demikian menolong memperbagus hidupnya: dan lagi ada pula suatu kewajiban yang tinggi murni, yaitu “terima kasih” namanya.

Terima kasih Ibu Kartini! Semoga cita-citamu senantiasa tercapai.

*mahasiswa FH UB 2012 dan awak Kavling 10.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.