Aku, Zahira dan Negeri Impian
Ruangan begitu hening, sementara gemerisik dedaunan terdengar merdu mengalun dihantarkan angin. Aku terjatuh direngkuh kesunyian, ketika aku melihat selembar foto dan sepucuk surat pemberian seorang wanita yang dulu pernah menghiasi hari-hariku dengan senyumannya yang selalu mengembang, tawanya yang renyah, dan matanya yang indah bagaikan mentari dikala senja.
Kita pernah berbagi berjuta kisah. Saling bergandengan tangan, melangkah, berlari, tersungkur, terjatuh, lalu bangkit lagi. Namun semua cerita itu seakan hilang tersapu badai, terkikis ombak, dan terhapus kekuatan yang dahsyat. Ketika terucap untaian kata yang keluar dari bibir indahnya yang mengakhiri cerita cinta kala itu, dengan alasan yang sangat baik. Fokus mengejar cita dan menggapai mimpi untuk menuju euphoria cinta dimasa depan. Sebuah foto yang menggambarkan kemesraan dan sepucuk surat terakhir darinya yang ku simpan dan akan kuabadikan, sebagai simbol kesetiaanku. Di kertas itu ada sebuah gambar yang menjadi ikon kota Tokyo di negeri matahari terbit. Ya, Menara Tokyo. Sebuah menara yang indah, penuh gemerlapan cinta di setiap cahaya lampu yang bersinar di kala gelap.
Terdiam termangu meratapi setiap goresan pena yang tergoreskan begitu halusnya. Pikiranku mulai mengembara dan imajinasi pun mulai mengembang. Terbayang wajah yang bersinar diantara goresan tinta yang bersinar menyinari dan memberikan arti dari setiap kata. Ia berkata ”Berjuanglah! Dan berteriaklah sekeras mungkin disana, dan aku akan menyambut kedatanganmu.”
Hari saling berkejaran untuk mencapai bulan, dan bulan pun berganti tahun. Lalu berjalanlah tahun. Dan tahun demi tahun berlalu tanpa terdengar kabar darinya. Dan aku masih terus berjuang untuk menggapai mimpiku dengan mengarungi ganasnya samudera kehidupan. Banyak wanita yang mencoba mendekat dan mencari perhatianku. Namun tak ada satu pun dari mereka yang seperti dirinya. Entah apa yang membuatnya berbeda. Orang bilang karena ia adalah cinta pertamaku. Namun yang pasti senyumnya selalu menyemangatiku dikala aku mulai mengeluh, dan suara indahnya mampu membangunkanku disaat aku terpuruk jatuh tak berdaya. Dan mungkin itulah yang membuatku rela memberikan kesetiaanku ini padanya.
Namun, beberapa tahun kemudian terdengar sebuah berita yang meluluh-lantahkan kepingan jiwaku, ketika telah ku bangun singgasana cinta untuk ku bawa bersama mimpiku. Zahira, wanita yang ada dalam foto itu, yang memberikan surat terakhir itu beberapa tahun lalu, pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Meninggalkan keluarganya yang sampai saat ku datang masih terlihat luruh air mata dan masih terdengar jelas rintihan isak tangis atas kepergiannya. Hingga aku pun ikut tenggelam dalam tangisan, ketika ku lihat wajah yang dulu pernah menghiasi hari-hariku dengan senyumannya kini tersenyum tulus di penghujung harinya,wajahnya bagaikan mengeluarkan seberkas cahaya yang menjadi penutup dari lembaran hidupnya. Sampailah di prosesi pamakaman, aku terdiam terpaku manatapi nisan yang baru tertancap. Aku panjatkan do’a dan air mata pun mengalir membanjiri pipiku. “ Aku akan pergi kesana dan membawa cerita kita! ’’ gumamku dengan penuh harapan.
Beberapa tahun berlalu, dan aku tak memiliki apa yang dulu ku miliki. Namun kini goresan luka berubah menjadi manisnya perjuangan hidup yang ku lalui. Aku berdiri ditempat yang ia tunjuk. Berteriak sekeras-kerasnya seperti apa yang ia katakan dalam bayangan dulu, berharap ia akan menyambut kedatanganku. Namun pecuma aku berteriak, tak mungkin ada yang menyambutku dengan senyum tulus menyapaku.Hanya hembusan angin dingin yang mencoba menyapa dan menghiburku. Terdiam dan tertunduk lesu, aku pun pulang ke asrama tempat tinggalku di sana. Aku menjadi mahasiswa S2 di Universitas Kyoto, Jepang.
Ucapan terimaksih, ku berikan kepada kedua orang tuaku yang selalu menyelipkan namaku dalam setiap do’anya, dan tentunya padamu Zahira yang berhasil menuntunku ke negeri matahari terbit itu. Semoga kau berada di tempat yang sebaik-baiknya tempat tinggal, do’aku untukmu selalu. Sekarang aku tahu mungkin yang ia maksudkan berteriak sekeras-kerasnya di depan Tokyo Tower, bukanlah berteriak dalam arti sebenarnya. Namun berteriak yang damaksud adalah berjuang sekeras-kerasnya untuk menuju negeri impian . Ya, dia tahu bahwa impian terbesarku adalah bisa menginjak negeri di timur Asia itu. Dan kesetiaanku ini tampaknya akan menjadi sebuah pelengkap sejarah hidupku. Meskipun hanya kesetiaan yang sementara, tapi cerita kita akan abadi sampai nanti. Sampai langit tak lagi biru, sampai awan tak lagi menciptakan rintikan hujan, sampai langit digulung dan sampai kita dipertemukan lagi di surga-Nya.
Penulis: Saepul Bahri