Minum Teh Bersama Kartini

sumber gambar: Google

Sekilas membaca judulnya pembaca mengira akan disuguhi bacaan dengan muatan feminisme yang berat. Minum Teh Bersama Kartini oleh Suryatini N. Ganie justru keluar dari sangkaan awal itu. Dari 20 cerpen yang dibukukan, Ganie memang banyak mengambil wanita sebagai tokoh utama. Namun begitu selesai membaca cerpen pembuka yang juga menjadi judul buku ini, sense-nya bisa jadi jauh dari bayangan awal.
Latar belakang Ganie yang pernah mempunyai pengalaman tinggal di luar Indonesia sengaja ia bawa dalam cerpen-cerpennya. Tiap cerpen membuat kita berkeliling, sekilas mengenal negara lain. Berbagai negara bergantian dieksplorasi untuk menjadi cerita mengikuti imajinasi Ganie lewat pemilihan tokoh, benda, tempat hingga kesenian tradisi. Sebut saja beberapa cerpen Ganie seperti “El Sombrero”, “Hiroko dari Kamakura”, “Perjumpaan di Arc de Triomphe”, atau “Sitarki di Piraeus”.
Dominasi suasana mistis dan kematian menghiasi kumpulan cerpen Ganie di “Minum Teh Bersama Kartini”. Kisah antara satu cerpen dengan cerpen lainnya lebih menonjolkan suasana mistis yang dikaitkan dengan takdir dan banyak diceritakan dari sudut pandang tokoh wanita. Pembaca mungkin tidak menyangka akan disuguhi kisah-kisah tersebut. Namun pesan itu sebenarnya sudah disampaikan pada cerpen utama Ganie. Pertemuan seorang gadis dengan perempuan muda, mirip Kartini, di sebuah bis kota. Lewat sosok kuno dan mistis yang muncul, perempuan muda itulah Kartini sebenarnya yang sedang berkeliaran ke dunia modern. Lewat jamuan minum teh dari Kartini, Si gadis mengagumi Kartini sebagai wanita tangguh tanpa menyadari Kartini-lah yang sedang diajaknya bercakap-cakap. Namun lewat cerpen Ganie, Kartini tidak banyak bicara mengungkapkan pemikirannya. Kartini memberikan cincin ametis gaib yang membawa Si gadis menemukan pasangan hidupnya.
Masih dengan atmosfer mistis yang tampaknya menjadi ciri kumpulan cerpen Ganie, beberapa cerpen berusaha mencuplik sisi pentingnya keluarga. “Cerita Teko Tua” dan “Beri Aku Secuil Roti Saja” mencoba mencari kembali kebahagiaan yang idealnya didapat lewat rasa tentram dari keberadaan keluarga, sementara tidak semua keluarga bisa menciptakan suasana tersebut.
Ketika suatu hari Teko Tua bersaksi menceritakan kisah keluarga Achmad yang hidup pas-pasan dan tekanan hidup membuat Pak Achmad khilaf melangkah ke jalan yang bisa saja membuat seluruh keluarga terjebak kehinaan dunia akhirat. Sedangkan Bembi yang merana kelaparan terus membayangi pikiran Tante Asih lewat kisah “Beri Aku Secuil Roti Saja”. Dimana-mana bocah tetaplah bocah dan kewajiban orang tua adalah memastikan anak mendapat kasih sayang dan hak dasarnya terpenuhi.
Ada titik dimana imajinasi penulis membuat rasa penasaran pembaca meredup, karena akhir kisah yang terlalu dipaksakan untuk jadi sejalan dengan realitas. Sejenak situasi itu membuat membaca buku ini seperti menonton kebanyakan sineteron Indonesia, hanya saja dalam bentuk tulisan. Ketika setiap kisah harus diakhiri sejalan takdir, membawa pembaca pada akhir cerita kepasrahan. Akhir yang bahagia, membuat pembaca berhenti memikirkan cerita atau kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
Sebagian besar kisah yang mendapat ruang cukup banyak dalam kumpulan cerpen ini merupakan perempuan yang mencari jodoh, berjodoh hingga perpisahan pasangan. Muncul kesan tua yang akhirnya membuat kisah berjarak dengan pembaca-pembaca muda. Pembaca jadi lebih suka menebak-nebak daripada melanjutkan membaca cerpen sampai akhir, setelah menyelesaikan lima sampai enam cerpen diawal. Sebab alur cerita dari satu cerpen ke cerpen yang lainnya cenderung serupa.
Pembaca yang berharap mendapatkan pesan-pesan emansipasi mungkin akan meragukan apakah sosok perempuan dalam “Minum Teh Bersama Kartini” itu benar-benar Kartini yang terus bergulat memikirkan hak perempuan? Kenapa ia justru tidak banyak mengungkapkan pemikirannya dan malah memberikan cincin ametis gaib? Atau mungkin pembaca justru bertanya-tanya dan masih ngotot terus untuk mencari pesan terkait hak-hak perempuan atau setidaknya nilai feminis yang terkandung di buku.
Pembaca mungkin akan gemas mencari-cari nilai feminis dari kumpulan cerpen ini. Tapi bisa jadi sejak awal memang bukan hal itu yang menjadi fokus dari kumpulan cerpen Ganie. Kesan mistis lebih banyak ditonjolkan dalam setiap kisah di cerpen, menenggelamkan pesan feminis yang mungkin ada sehingga tidak tersampaikan.
Saran pribadi bagi pembaca yang bijaksana, bukan hanya penulis yang harus bisa memahami pembaca. Namun pembaca juga perlu memahami penulis. Lewat Minum Teh Bersama Kartini, tampaknya kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan meskipun terus mencari-cari.
Penulis: Ainun Syahida A.