Permintaan Maaf Korban 1965-1966
MEDAN-KAV.10 – Pemerintah tengah berupaya melakukan penyelesaian atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Salah satu wacana tersebut adalah permintaan maaf terhadap korban kekerasan pasca Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965-1966.
Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly mengatakan pemerintah masih mempertimbangkan, apakah akan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk penyesalan atau permintaan maaf kepada para korban.
“Permintaan maaf akan diberikan jika pemerintah menemukan tindakan-tindakan yang tidak tepat, ketidakadilan maupun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada korban pada kurun 1965-1966,” katanya seperti dilansir dari laman antara.com (31/8) di Jakarta.
Yasona juga menegaskan, jika ada permintaan maaf, maka hal itu bukan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi untuk korban.
Proses pembahasan tersebut melibatkan pemerintah melalui Kemenkumham dengan lembaga seperti Komnas HAM dan Kontras.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.
Kejaksaan Agung sendiri juga tengah melakukan upaya yang sama dalam menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM berat, diantaranya peristiwa Talang Sari, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Sementara dalam siaran persnya, Kontras masih menyoroti kebuntuan penyelesaian pembunuhan aktivis HAM Munir yang sudah 11 tahun belum menemukan titik terang.
“Peristiwa pembunuhan Munir yang terjadi pada era reformasi adalah paradoks dalam demokrasi kita. Pada masa gelombang demokratisasi, cara-cara kotor pembunuhan politik dengan menggunakan racun ternyata masih juga terjadi,” tulis dalam siaran persnya (6/9). (antara/eff)