Librisida
Librisida, momen kebencian terhadap buku dalam beragam pelarangan dan sensor. Maupun pembakaran di hadapan umum dan penghancuran perpustakaan itu sudah cukup menjelaskan semua ketakutan dan kebencian terhadap buku.
Di Barat, Gereja Katolik rutin memuat daftar buku-buku yang ‘haram’ dibaca dan dikeluarkan dengan tujuan melindungi umat dari paham-paham yang kontroversial. Kata Robertus Robet pelarangan rupanya boleh dibilang sebuah bentuk kekerasan yang relatif lembut.
Librisida, maksudnya pemurnian masyarakat dan demokrasi yang cacat. Ada banyak yang terjadi demikian di Indonesia. Takutnya, kampus turut menjadi semacam Librisida dan memang benar pula (itu terjadi).
Fernando Baez menemukan bahwa buku-buku dihancurkan bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing.
Maka, Nietzsche orang gila yang dikagumi, mengingatkan pembaca bahwa klaim apapun tentang kebenaran objektif adalah kekeliruan yang dalam.
“…kebenaran adalah ilusi-ilusi yang telah dilupakan bahwa kebenaran itu adalah ilusi…”
Lalu kita yang mengklaim tentang kebenaran buku dan segala di dalamnya, tentang kebenaran universal dan satu-satunya. Dari diri sendiri, orang lain telah menjadi guru yang mengatakan kebenaran dan mana yang salah.
Manakah mahasiswa yang tidak miris melihat hanya satu dari sepuluh ribu orang Indonesia membaca buku, lalu berlari sampai pusuk bukit berteriak atas klaim kebenaran sebuah buku? Tepat semuanya itu adalah kita, orang sok pintar dan suka mengangkat diri agar dikenal sebagai guru atas orang lain.
Tiada makna dibalik kata, juga kita tak mengerti jelas orang yang menulisnya. Kata-kata tertulis dengan pensil atau sayatan, di atas kertas atau seonggok kayu, setelah itu ditinggalkan penulisnya . Buku tak bertuan dan selanjutnya buku itu milik orang yang sungguh-sungguh membacanya.
Membaca: cara pinter buat pinter (perpustakaan keliling UB)
Efrem Siregar, Pemimpin Redaksi