Beberapa waktu lalu, media tanah air secara besar-besara menampilkan praktik permainan berbagai perguruan tinggi kita yang menerbitkan ijazah bodong kepada mahasiswanya. Simbolik tanda kelulusan para calon sarjana yang bertahun-tahun merintis dan mengabdikan diri pada tri dharma perguruan tinggi memberi peluang bisnis besar kepada siapa yang mendambakan uang dari lembar kertas ini.

Praktik memalukan dalam dunia akademis semacam ini sudah mengoyak keniscayaan masyarakat terhadap kapasitas. Hanya bermodalkan Rp 50.000, bim salabim, ijazah bisa diterbitkan. Ini satu contoh betapa dangkal manusia memanfaatkan institusi perguruan tinggi untuk sekedar memenuhi syarat adminisrtatif pada dirinya.

Di kampus lainnya, Menteri Ristek dan Dikti Muhammad Nasir pun mengambil tindakan untuk menutup kampus tersebut sebab, katanya, mahasiswa kampus tersebut tidak layak wisuda. Teka-teki siapa mahasiswa tidak layak wisuda ini memiliki jawaban luas dan bisa siapa saja. Syarat Satuan Kredit Semester (SKS) yang belum tercukupi seperti dijelaskan Nasir, hanya jawaban dalam konteks kekinian semata di saat tuntutan kompetensi semakin nyata pada era globalisasi ini. Jik ditarik lebih jauh, dari sekian banyak masalah pendidikan tinggi, yang patut dipertanyakan adalah identitas mahasiswa itu.

Ini kurang lebih menggambarkan situasi perguruan tinggi saat ini. Bukan lagi soal ijazah di akhir semester, ketidaklayakkan itu sebenarnya telah berwujud dengan lebih elit dibandingkan tanda tangan dan stempel palsu di atas kertas. Perdebatan atas fenomena ini semetinya sudah tidak berbicara lagi tentang apa yang benar atau salah., apalagi mencari siapa pihak yang harus bertanggungjawab. Pendidikan berbicara proses, dimana budaya itu tetap melekat sampai manusia itu mati.

Mochtar Lubis pada 1977 di Taman Ismail Marzuki menyebut 15 ciri-ciri atau watak masyarakat Indonesia: munafik, segan dan enggan, bertanggungjawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, artistik bernilai tinggi, karakter yang kurang kuat, tidak hemat, tidak suka bekerja keras, kurang sabar, cepat cemburu dan dengki, manusia sok, tukang tiru, malas-malasan, kurang peduli nasib orang lain, dan berhati lembut.

Mochtar memang sudah menyempitkan eskistensi manusia itu sendiri. Meski begitu penggambaran dalam manusia yang disebutkan barangkali boleh menjadi refleksi bersama. Titik berat sebagai mahasiswa Indonesia tak lain lagi adalah mahasiswa (aku) itu sendiri. ‘Aku’ yang belum purna sama sekali. Segala kesalahan itu seakan datang dari luar ‘aku’.

Itulah ‘Aku’ yang benar sudah munafik. Itulah cerminan yang bisa ditangkap dalam menilai dunia akademis kita dewasa ini. Kepuasan bagi mahasiswa habis setelah bisa mendapat pengakuan sebanyak mungkin. Mahasiswa yang memiliki idealis pun masing-masing terjebak dalam situasi dengan corak lebih realistis. Mereka mampu melanggengkan para penindas tetap berada pada jalur benar.

Yang lain lagi ada gemar mengukur diri dalam simbolik yang rupa bentuk. Dan itu sudah menular pada intelektualitas kemahasiswaan. Kalau tidak berbentuk model sertifikat, medali, piagam, harga sebuah petualangan adalah omong kosong. ‘Aku’ sebenarnya sudah melecehkan kemampuan dan kapasitas diri sendiri yang berhala kepada materi semata.

Kemampuan mengukur diri sebagai mahasiswa memang butuh proses yang tidak singkat. Rasa tidak puas terhadap para pejabat, yang mana mereka mendapat ijazah kelulusan, beriringan sejalan dinamika dan perputaran kehidupan. Empat tahun yang dijalani dengan ijazah sebagai tanda ketamatan, bukan riwayat akhir seorang mahasiswa. Bagi yang mendalami keilmuan dan mencintainya, empat tahun sungguh terasa singkat. Ada perasaan rindu ingin kembali lagi ke dalam bangku perkuliahan saat memasuki masa semester akhir.

Inilah mahasiswa yang benar-benar meletakkan ilmu dan pengetahuan bagai petualangan hidup sejatinya. Di kampus ini, mahasiswa mendapat tempatnya. Penindasan dan pengekangan, atau hambatan semacam lainnya meski jamak, itu yang bersama-sama diadili mahasiswa.

Dari sini pula, muncul sebuah pertanyaaan untuk mahasiswa yang menginginkan agar lekas tamat dan berjuang penuh untuk kuliah 3,5 tahun. Apa yang sebenarnya mereka inginkan dari kampus ini? Mereka pulang dengan cita-cita memuaskan diri.

Maka sebaiknya mahasiswa menyelami lebih dalam kehidupan kampus. Mereka yang semakin dalam itu akan menyadari arti sebuah kecukupan untuk ‘Aku’. Rambu hati-hati itu akan masuk mendalam dan ‘aku’ sudah meyakini konsekuensi yang pantas diterimanya. Kemana pun mahasiswa itu pergi, ijazah, piagam dan sebagainya hanya kenangan nostalgia.

Dan akan tetap ada peringatan kepada mahasiswa berhala materi dan kebenaran yang satu-satunya. Apapun itu, mahasiswa yang tetap bertopeng dengan segala identitas dari luarnya, boleh masuk ke keranjang sampah. Nosce te ipsum, kenalilah dirimu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.