Saat Burung Tidak Berkicau

0

Kicauan begitu singkat. Walau Anda sastrawan, wartawan atau ilmuwan, yang biasa menulis panjang lebar dan catatan kaki yang menjimut, Twitter membatasi gerak Anda. Dengan keterbatasan jumlah karakter, Anda dan pengguna lainnya dituntut kreatif saat menyampaikan pesan. Itulah esensi pembatasan karakter, seperti yang diungkapkan Christoper Isaac Stone atau akrab disebut Biz Stone, salah satu pendiri akun ini.

Esensi pembatasan ini mirip aturan penulisan berita langsung (straight) yang berlaku pada surat kabar. Peristiwa atau bagian terpenting diletakkan pada bagian awal atau biasa disebut teras berita (lead). Pembaca koran, fisik maupun elektronik, sudah cukup terpuaskan kebutuhan informasinya tanpa harus membaca penuh seluruh isi berita. Sesuatu yang lumrah bagi masyarakat, karena memiliki sedikit waktu untuk membaca (reader supersonic).

Begitu pun dengan kicauan-kicauan yang setiap waktu muncul di beranda akun. Tak perlu basa-basi kalau berkicau, karena masih banyak antrian kicauan yang perlu dibaca. Pembatasan yang singkat itu ternyata cukup beralasan, agar pesan cepat dibaca pengikut. Namun, seiring berjalannya waktu, para pengguna bukan lagi sekadar berkicau. Beberapa telah menjelma menjadi burung yang bernyanyi dengan syair dan bait panjang.

Microblog + microblog = Blog

Nyanyian menarik itu salah satunya ditunjukkan ketua umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Terlepas dari makna pesan yang disampaikan, lewat akunnya @SBYudhoyono, pada 15 Juni 2015, Tweets-nya yang berisi tanggapan atas dana aspirasi anggota DPR merupakan rangkaian yang koherensi satu dengan yang lain. SBY memang belum ingin sekadar berkicau atas masalah anggaran ini.

Jika dicermati, seluruh kicauannya saat itu memiliki koherensi antar kicauan dan bisa disusun menjadi sebuah artikel tulisan. Jumlah kicauan ini sebanyak 16 buah. Agar memudahkan pembaca menyambung kicauannya, SBY menomorkan setiap kicaun. Kalau membaca satu kicauan saja, pembaca sudah pasti terkecoh.

SBY tweetdttt

Tak hanya SBY, fenomena ‘badai twitter’ ini juga kerap dilakukan para tokoh nasional lainnya, semisal Aburizal Bakrie dan Yusril Ihza Mahendra. Nyanyian Aburizal muncul saat konflik dualisme di tubuh partai Golkar.

Benar saja alasan kedua tokoh nasional ini, perlu memberikan tanggapan panjang lebar untuk sebuah masalah yang sangat kompleks. Dengan jumlah pengikut (followers) dan kecepatan penyampaian informasi, praktis, mereka lebih memilih twitter. Pesan itu bisa sampai ke banyak target dengan waktu yang relatif singkat.

Namun, bila memandang Twitter sebagai microblog, persoalannya bukan lagi tentang kecepatan dan jumlah pembaca semata. Nilai lebih pengguna bisa terukur dari kecakapannya merangkai makna dan ekspresi yang tidak melebihi 140 karakter. Bila tidak sanggup menyusun kurang dari 140, rasanya, pemilik akun (tweeple) lebih baik menulis di blog yang tak mempersoalkan jumlah karakter.

Merangkai kicauan demi kicauan agar membentuk sebuah artikel, bagi saya adalah cara licik akibat telah kehilangan daya kreatifitas. Suatu waktu, arsitek sedang membangun sebuah rumah dalam tenggat 70 hari. Namun, entah karena satu masalah yang sering dijumpainya, sang arsitek meminta perpanjangan waktu hingga 100 hari. Maka, turunlah nilai dan kualitas arsitek tersebut sebagai perancang bangunan yang handal.

Fenomena ‘badai twitter’ ini setidaknya sudah menempatkan ruang penulisan twitter terhadap media sosial lain yang jamak dimiliki masyarakat pada posisi yang sama. Tampak tidak ada perbedaan mencolok antara twitter dengan laman atau media sosial lainnya. Orang yang belum bisa berkicau merdu, memandang berbeda atau belum memahami betul esensi kicauan di twitter itu sendiri.

Dengan melupakan esensi pembatasan, maka sah saja orang berbuat semau-maunya dia terhadap media sosial ini. Entah mencampur-aduk bahasa, menempelkan link URL, asal tidak melebihi 140 karakter dan beretika, sah saja semua itu dilakukan. Itu lah kreatifitas yang dibangun masing-masing pemilik akun.

Namun, lain persoalan bila ternyata pemilik akun sedang membangun sebuah artikel yang tersusun dari microblog demi microblog. Bukankah SBY atau tokoh nasional lainnya lebih baik menulis di blog atau membuat konferensi pers agar dijadikan berita?

Salah satu dugaan yang masuk akal atas ‘badai twitter’ ini adalah pandangan negatif kepada perlakuan media massa yang seenaknya memelentir kutipan demi melegitimasi kebenaran redaksinya. Pelentiran kutipan ini bukanlah kejadian luar biasa untuk mengejutkan mereka. Citra baik yang semestinya terbentuk, redup. Maka, ada kala satu waktu mereka harus absen berkomentar di media massa.

Alasan lainnya yang menguntungkan adalah banyaknya pengikut di Twitter. ‘Berita eksklusif’ ini akan lebih banyak dibaca dibanding jumlah pembaca media massa. Secara utuh dan murni pesan itu bisa sampai ke pembaca tanpa perlu berdebat panjang lebar atas kebenaran akan keutuhan kutipan. Ini juga bisa menambah tingkat kepercayaan orang yang selalu objektif dan skeptis terhadap media massa.

Namun, ‘Badai Twitter’ ini sewaktu-waktu bisa memberikan petanda buruk, baik kepada pemilik akun maupun twitter itu sendiri. Kekhasan bagi pengguna twitter terletak pada penggunaan bermacam tanda dan simbol. Alangkah lebih baik memang bermacam tanda itu. Itulah identitas yang dibangun twitter lewat bermacam term, salah satu pluraritas yang ditawarkan sebuah teks dengan memainkan tanda-tanda itu.

Seterang apa pun tulisan, kata-demi-kata belum cukup merepresentasikan ide-ide tersebut. Tiada pula yang objektif pada sebuah tulisan, walau pada akhirnya tulisan itu perlu dipahami. Ada pula yang khawatir terhadap penggunaan aturan tata bahasa dalam setiap tulisan atau pesan dalam media sosial. Berkenaan dengan itu, bukankah tiada makna di balik kata?

Semakin kedepan, kita memang melihat tingkah pemilik akun yang semakin tak karuan dalam merumuskan bahasa. Tetapi, itu memang sebuah pengakuan yang keluar dari pluraritas, bahasa bukan suatu makna yang absolut. Yang terbayangkan nantinya, burung berkicau bukan saja sekadar bunyi indah. Bisa saja itu petanda lain.

Berakhirlah permainan term yang selama ini berkocol di twitter. Belum lagi, twitter bukanlah satu-satunya media di dunia atau yang pertama memomulerkan penggunaan pesan singkat ini. Twitter yang Anda kenal sekarang hanya sebatas media mainstream yang cepat atau lambat segera purna, ditinggalkan pengikutnya berbarengan dengan badai yang menyerangnya. Kicauan pun kembali kepada burung yang berterbangan di langit.

Efrem Siregar

Pegiat Kavling 10

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.