Oki Mardai

             Biar ku ceritakan tentang Sardjana, seorang pengangguran yang kini mengadu nasib di pinggiran kota Jakarta. Barangkali ini baru pertama kalinya penjual koran di pinggiran kota Jakarta menggunakan setelan kemeja, berdasi serta sandal jepit menyerupai orang kantoran (meski sebagaian orang kantoran merasa dirinya terlalu hina mengunanakan sandal jepit). Bagi Sardjana inilah karier tertingginya selama hidup di kota Jakarta yang sumpek, apek dan penuh kebohongan. Meskipun hanya sebagai tukang koran, dengan menggunakan setelan kemeja dan berdasi ia telah merasa ijazah kesarjanaannya tidaklah sia sia.

Suatu hari nanti ia juga bercita cita ingin menemui Bapak Gubernur yang terhormat beserta wakilnya yang akhir akhir ini sering di olok olok, di ejek ejek,  di etrek etrek oleh rakyatnya sendiri.  Ia merasa perlu berterima kasih bukan atas nama sembako yang di berikan kemarin sore, atau penertiban PKL liar yang mengakibatkan kesemrawutan kota, tetapi atas kemacetan Jakarta.

“ Dengan ini saya merasa perlu berterima kasih sebesar-besarnya kepada bapak Gubernur. Karena atas kemacetan ini telah menyelamatkan harga diri saya sebagai seorang sarjana lulusan ilmu ekonomi yang kebetulan nama saya juga Sardjana. Dengan segala hormat, sebagai warga kota Jakarta dan atas nama rakyat kecil, saya mohon agar kemacetan di  Jakarta tetap di pertahankan untuk selama lamanya.

__________________________

              Mencari pekerjaan di kota Jakarta memang gampang gampang susah, dan kebetulan Ia memperoleh bagian susah yang langsung di takdirkan oleh Tuhan. Dua tahun berselang dengan ratusan surat lamaran kerja yang tak berbalas memaksanya untuk cepat cepat memutar otak ( Meskipun otaknya tidak dapat berputar dan berputar seperti komidi putar) . Belum lagi soal Sundari, pacarnya yang telah kebelet nikah.

Abang kapan nih datang ke rumah, Babe udah nanyain terus loh, kalo kagak cepet cepet di lamar nanti adek di lamar duluan sama si Juki. Preman Pasar itu lo, masak Sarjana kalah sama Preman Pasar sih“ .

Belum lagi persoalan tetangga. Mereka akan selalu merasa berhak mengetahui rahasia tetangga yang lain.

“ Kerja ape elu sekarang, kantor elu  di mane, sebulan gaji elu berape? Dengan seribu macam perasaan gundah gulana ia hanya dapat membatin .

“ Bangkeeeeeeeeeee “

Dengan segenap rasa keprihatinan ia terus mengasingkan diri dari lingkungannya, jarang pulang ke rumah, setidaknya biar di kira sibuk bekerja. Setiap malam ia merasai dirinya semakin payah dan putus asa. Pernah suatu kali ia merasa ingin bunuh diri dengan menabrakkan tubuhnya  di lintasan kereta api ( sekarang memang lagi ngetrend anak muda bunuh diri dengan menabrakkan tubuhnya di lintasan kereta api ) tetapi ia merasa akan merindukan nasi pecel Madiun bikinan mbok Yem yang begitu enak, dan permasalahan utamanya karena tiada nasi pecel seeenak itu di akhirat. Juga kedipan mata Sundari, kekasihnya yang seperti kedipan matahari ( meski matahari tidak bisa berkedip kedap kedip seperti mata seekor Barongsai ) . Entalah Sardjana merasa dirinya manusia paling nelangsa di dunia. Bapaknya sudah meninggal akibat serangan jantung setelah Timnas U-19 di bantai Brunei 3 – 1 di bandar seri begawan. Ibuknya bekerja sendirian sebagai penjual sayur sayuran di pasar tanah abang. Jakarta memang tidak menawarkan apapun selain kegelisahan dan ketakutan .

Setiap hari, setiap kali ia meyusuri kota Jakarta ia merasa telah menjadi seperti tikus, meskipun ia merasa lebih ganteng dari tikus manapun dan jenis apapun. Segala penjuru dan pelosok kota Jakarta telah ia jajaki selama hampir lebih dua tahun dan tidak menghasilkan apapun. Ia juga mulai sangat membenci matahari di atas langit Ibukota, matahari begitu terang, tetapi begitu jauh dan tak peduli kesengsaraan manusia. Siapa tahu Matahari seorang yang buta ?

Jika ia malas untuk melakukan perjalanan, maka paling tidak ia menghabiskan waktu di dalam warnet untuk mencari lowongan pekerjaan , membuka facebook , membaca berita lewat situs online, atau yang paling akhir akan habis untuk bermain game dan mendownload video porno. Jika saja dari awal ia menerima pekerjaan sebagai pelayan restoran, buruh cuci, tukang kebun, supir atau penjaga toko mungkin ia tidak akan menganggur seperti ini. Masalahanya ia terlalu gengsi untuk bekerja seperti itu , tidak sesuai dengan gelarnya yang lulusan perguruan tinggi negeri. Ia ingin bekerja sebagai pekerja kantoran, berdasi dan bersepatu pantovel. Tetapi memang nasibnya tidak seberuntung teman temannya. Tidak ada Pelayan restoran yang menggunakan kemeja dan berdasi, tidak ada pula buruh cuci yang berkemeja dan berdasi, begitupun tukang kebun, supir dan penjaga toko. Mungkin hal itu bisa terjadi namun dapat di pastikan si pemilik bisnis akan menyuruhnya berpakaian sesuai dengan pekerjaanya.

“ Eh elu tuh cuma tukang kebun, gak pantes pake dasi, ganti gak, atau gue pecat, gak tau diri banget sih jadi orang “

Tiada satu pekerjaan pun yang ia lirik selain pekerja kantoran, “ Pokoknya harus kantoran, pokoknya harus berdasi, pokoknya harus pakai sepatu pantovel, pokoknya rambut harus  di poles pakai Pomade, pokoknya gaji berapa aja gak penting, pokoknya harus keliatan mecing dulu biar di anggep pria mapan.” Begitulah setiap malam ia membatin sebelum bertemu dengan mimpi buruk dalam tidurnya. Yang paling sering ia temui di dalam mimpinya adalah Haji Qomar alias bapaknya Sundari, calon mertua yang seorang makelar prabotan rumah tangga. Dengan kumisnya yang hitam dan mistik ia akan bertanya pada Sardjana dengan pertanyaan yang itu itu saja.

“ Elu kerja ape sekarang ?  Bukan hanya itu kadang kadang yang paling buruk adalah bayang bayang Sundari kekasihnya dan Si Juki Preman pasar sedang melangsungkan pernikahan.

“ Bangkeeeeeeeeee , mimpi gue kayak tai tiap malem!  “

Tidak hanya mengikuti perkembangan lowongan pekerjaan terbaru di surat kabar, ia juga mulai memperhatikan dan sering mendengar radio atau berita televisi tentang kemacetan kota yang semakin hari semakin parah. Menurut sejumlah media dan buku buku yang ia baca, Jakarta terlalu di penuhi dengan orang orang kelas atas yang egois. Setiap tahun, setiap orang membeli mobil, dan pada akhirnya mengahasilkan sebuah dunia yang macet oleh pertumbuhannya sendiri. Menurut analisisnya yang sangat sah diragukan keakuratannya, manusia Jakarta telah menghabiskan kurang lebih sepuluh tahun hidupnya di dalam mobil, akibat terjebak kemacetan setiap pagi. Setiap pagi pula setiap ia melewati sebuah ruko agen surat kabar dan majalah. Ia selalu memandang sampul-sampul majalah dengan begitu sinis dan penuh kebencian. Bukan karena sampul-sampul itu bergambar dirinya yang sedang di bicarakan media seperti para pejabat dan selebritis, tetapi setiap kali ia melihat sampul sampul itu seolah olah tengah berbicara kepadanya, pertama-tama ia melihat sampul majalah anak-anak yang bergambar bebek menyerupai Wody Woodpacker yang ia rasai sedang mengolok oloknya.

“ Kasian , elu sarjana tapi kagak dapet kerjaan, balik TK lagi aje wkwkwkwkwkwkwk “ yang kedua majalah olahraga yang bergambar pemain sepak bola indonesia Bambang Pamungkas “ Gue aja yang kata orang pemain bola prefesional belum tentu gajinye di bayar tepat waktu, lah elu “ Yang ketiga majalah pria dewasa yang tidak perlu di sebutkan namanya, pokoknya seorang model dengan ukuran payudara yang tumpah ke mana mana “ Aduh bang, hari gini kagak dapet kerjaan, gimana mau muasin aku “ Yang terakhir majalah politik yang penuh muatan  politis dan keberpihakan yang bergambar bapak Gubernur Jakarta yang terhormat “ Hari gini nganggur, kelaut aje “  Sambil mengacungkan jari telunjukknya.

“ Bangkeee, lama lama gue bakar nih ruko! “ Namun setiap hari setiap kali ia melintasi jalanan kota, halusinasinya semakin bertambah tidak beres. Setiap kali ia bertemu dengan orang-orang yang kebetulan menatapnya, ia merasai mereka sedang mengolok-olok dirinya di dalam hati.  Bukan hanya manusia ia merasa hewan dan tetumbuhan pun sedang mengolok oloknya. Terutama para bajing yang melintas di atas kabel kabel dan pepohonan.

Siape suruh hidup di Jakarte, gue aja kagak kebagian tempat, apa lagi elu. Liat tuh kelakuan spesies lu, pohon pohon di tebangin buat kepentingannya sendiri, gak pernah peduli ame nasib kite para bajing, mampus lu  kualat “

Begitu juga para mobil mewah yang terjebak di tengah kemacetan Jakarta. “ Gue aja yang jadi mobil udah muak hidup di Jakarte, apalagi majikan gue “ bersamaan dengan itu Sardjana memandangi segala aktivitas orang orang Jakarta di balik kaca jendela, yang sebagian tembus pandang, yang sebagian lagi agak terawang dan yang sisianya tidak kelihatan sama sekali. Dari pada tidak ada pekerjaan apapun inilah pekerjaan pertama Sardjana seorang sarjana ekonomi yang sedang duduk di pinggiran jalan di sebuah warung kelontong sambil menyeruput kopi. Ia mulai melakukan pengamatan bak intel melayu.

Pertama tama, bukan berarti ia tidak pernah melihat mobil bagus di Jakarta, tetapi karena ia tidak tahu apa yang sebenarnya harus ia amati, ia hanya melihat mobil-mobil bagus yang berseliweran di sepanjang jalan. Dan berharap harap suatu hari dapat memilikinya, jadi dalam seharian itu ia hanya berfantasi ria dengan alam imajinasinya tanpa menghasilkan sesuatu apapaun. Di hari pertama Sardjana belum merasa bosan, namun di hari kedua di dalam warung yang sama, ia mulai merasa gelagat penjaga warung semakin bersikap sinis padanya. Ia mulai bosan dan terus berpindah pindah tempat, setiap kali berjalan, setiap kali itu juga ia merasa semua oraang melemparkan tatapan sinis kepadanya. Mungkin karena bajunya telah mulai lusuh, sepatu Pantovelnya juga telah robek, sepatu itu pemberian almarhum ayahnya, barangkali sepatunya pun mulai menyerah menemani langkah Sardjana yang tidak tentu arah. Di lihatnya langit-langit kota Jakarta yang mulai gelap dan gemerlapan lampu mulai menyala. Ia merasa dirinya juga harus menyerah, nasib baik bukan lagi sesuatu hal yang istimewa, nasib baik hanyalah untuk orang-orang yang payah, untuk itulah ia tidak pernah bergantung pada nasib baik seumur hidupnya. Ia akan kembali ke rumah, kembali pada ibunya mungkin membantunya berjualan sayur dan mengatakan sesuatu hal yang kurang mengenakkan tentang pekerjaan. Mungkin ia akan melakukan pekerjaan dari tingkat yang paling bawah, mungkin tukang kebun, buruh cuci, pelayan restoran maupun supir angkot. Persetan dengan ijazah, dengan status kesarjanaan. Lagi pula demikianlah faktanya nasib seorang sarjana di kota Jakarta. Tidak perlu di jelaskan panjang lebar, susahnya mencari pekerjaan di Jakarta lebih susah di banding mencari calon istri.

Suatu pagi, sewaktu Sardjana hendak melamar pekerjaan sebagai tukang kebun di kawasan perumahan elit, bis kota yang di tumpanginya yang kebetulan telah penuh sesak seperti kandang ayam terjebak oleh kemacetan. Ia memang tidak merasa perlu terburu buru untuk tiba di lokasi. Dalam jam kerja seperti ini belum tentu pemilik rumah berada di rumahnya. Namun orang orang di sekelilingnya  tampak sangat begitu gelisah dengan berkali kali melihat jam pada pergelangan tangannya atau pada layar handphonenya. Dalam perjalanan itu ia melihat kehidupan di balik jendela kaca sebuah mobil Manusia Jakarta dengan lebih dekat yang seolah telah menyeruapai sebuah rumah. Di mobil pertama ia melihat seorang lelaki sedang membaca koran dan mendengarkan musik, sedang di belakang seorang perempuan, entah anak, entah istri, entah simpanan sedang berdandan. Di mobil kedua seorang perempuan sedang menelfon, menyetir sekaligus memakan roti. Di mobil ketiga seorang perempuan entah dengan sadar atau tidak bahwa kaca mobilnya sedikit terawang sedang mengganti bajunya. Di Mobil yang ke empat ia melihat seorang selebiritis yang sedang di wawancara. Di mobil yang kelima entah  hasrat apa yang menyelimuti mereka sepagi ini, tetapi sepasang kekasih itu memang sedang berciuman mesra. Di mobil ke enam seorang lelaki menurunakan kaca jendelanya dan mengulurkan uang recehan pada para pengamen. Sedang yang sangat menyita perhatian Sardjana adalah seorang lelaki yang memanen uang begitu banyak di tengah kemacetan kota yakni tukang Koran. Sepagi itu ia telah menggenggam bundelan uang yang begitu tebal. Orang orang kantoran yang merasa dirinya tidak mau ketinggalan info saling berburu  koran koran produk Palmerah.

“ Bangkeee nih tukang koran. Pagi pagi udah panen duit aje “ pagi itu Sardjana memang tetap mengunakan setelan kemeja polos berwarna biru muda dengan dasi garis garis tapi tidak lagi mamakai sepatu pantovelnya karena sedang di perbaiki di tukang sol sepatu . Ia hanya menggunakan sandal jepit. Dan mulai keluar dari bisnya karena telah terlalu muak dengan kesumpekan dan bau keringat manusia yang tidak enak.

Sejak saat itu. Setiap pagi dengan kemeja dan dasinya serta sandal jepit yang lebih enak di pakai dari pada sepatu pantovel ia tiba lebih awal di sebuah agen koran. Ia telah belajar berdamai dengan majalah anak-anak, olahraga, dewasa, serta politik. Dan seluruhnya kompak menyerukan slogan “ Berterima kasihlah pada kemacetan Jakarta “ kepadanya, entah itu Wody Woodpacker, Bambang Pamungkas, Bintang model porno maupun bapak Gubernur yang terhormat. Setiap pagi, setiap pukul 06.30 WIB Sardjana seorang sarjana ekonomi sudah berada di tengah kemacetan Jakarta sambil berteriak

“ Koran koran , koran koran , korannnya pak , buk , habis di beli gratis di baca , korannnya pak “ .

Malang – 11 -5 – 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.