Oleh: Efrem Siregar*

Sepuluh tahun silam, gairah musik punk kembali. American Idiot milik Green Day memuncak hampir di semua tangga lagu. Judul yang nyeleneh. Membacanya saja, tebakan muatan lagu pasti mudah terjawab.

Inilah punk, menurut sebagian pengamat musik, mewakili masyarakat bawah dan orang-orang tertindas. Liriknya tajam menyoroti realita sosial. Pesan kepada masyarakat yang terlalu menelan mentah-mentah pemberitaan menohok dan berat sebelah. Lalu, propaganda  media membuat bodoh (idiot) orang Amerika.

Don’t wanna be an American Idiot//
Don’t want a nation that under the new media

Barangkali, ini hanya sedikit tamparan kepada jurnalisme. Nasib di negeri sendiri, pun cibiran datang dari masyarakat, entah itu menyangkut konten atau keberpihakkannya. Perbedaan jurnalisme barat dan timur nyatanya tidak banyak merubah pandangan masyarakat terhadap media di tanah air. Kecurigaan  terus muncul manakala kaum tertindas benar-benar belum terwakilkan. Pekerjaan ini semakin sulit karena pers memiliki rambu-rambu yang membatasi kebebasan itu sendiri. Tak semuanya bisa ditelanjangi.

Dilema bagi setiap insan jurnalis. Di saat fakta harus sampai kepada masyarakat, datang juga hantu-hantu penindasan: teror dan kekerasan. Kemerdekaan pers direnggut. Kebebasan mengakses informasi dan meliput semakin sulit. Bak di hutan rimba, bila pemberitaan tak mengenakkan, subjek (pelaku) harus ’mengancam’ jika tak ingin ’terancam’.

Beragam cara menyalurkan hasrat untuk mengancam itu. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, dari Januari sampai Mei 2015, sebelas kekerasan mendera jurnalis, baik fisik maupun psikis. Macam pelakunya, dari pejabat, TNI/Polri, sampai warga sekalipun. Padahal UU Pers sendiri sudah mengatur cara yang lebih manusiawi dan terdidik menanggapi pemberitaan, yakni  Hak Jawab.

Tanda-tanda ke-tidak-merdekaan-an itu mulai memasuki pers mahasiswa (persma) yang berkeliaran di setiap kampus. Anggapannya, persma amat merisaukan kampus, seperti risaunya persma dalam mencari fakta di lapangan. Padahal rasa kritis ini, seperti kata Haris Azhar-penggiat HAM, muncul dari ketiadaan pelayanan negara atau hilangnya faktor penopang keberadaan setiap manusia. Belum lagi doktrin sembilan elemen jurnalisme bagai ayat-ayat suci yang teramat berdosa bila melanggarnya.

Sulitnya akses informasi sampai pendanaan percetakkan adalah makanan sehari-hari. Caranya cukup berhasil untuk melumpuhkan organisasi. Seleksi alam ini teramat brutal bagi anggota baru yang sedari dulunya amat mencintai jurnalisitk. Fenomena ini semakin subur di setiap waktu, bersamaan dengan sikap mahasiswa yang semakin cenderung apatis dan pragmatis.

Boleh jadi, persma, yang menyebut diri sebagai pers alternatif, adalah  jurnalisme punk. Pekerjaannya yang dianggap anarki semacam pesan kepada mahasiswa agar tidak menjadi Indonesian idiot. Anarki yang dimaksud bukanlah agresivitas yang berlebihan. Bentuknya merupakan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenangan. Mahasiswa sadar akan kebohongan dan kepalsuan selama ini. Mereka tak boleh lagi dibodohi dengan cerita-cerita ambang yang pantang dipertanyakan kebenarannya.

Para petinggi kampus mesti melek terhadap realita sekarang. Pelarangan pemutaran film dokumenter Samin vs Semen dan Alkimonekiye, yang digagas LPM Dianns, merupakan  model lama yang tak boleh ada lagi di era reformasi . Cara ini malah akan  memunculkan Indonesian idiot . Apa mau?

Mahasiswa perlu mendapat cakrawala Indonesia yang seluas-luasnya, salah satunya dengan menonton film dokumenter. Rasa penasaran akan terus muncul. Mahasiswa tak mau gidioth seperti orang Amerika yang menelan mentah-mentah pemberitaan satu arah yang menyesatkan mereka.

Kampus seharusnya menjadi ruang dialektika para akademisi. Muatan informatif atau provokatif film, yang selama ini diyakini penyebab pelarangan, sungguh tak elok dijadikan alasan. Belum ada penjelasan lengkap dari pihak dekanat yang benar-benar meyakinkan LPM Dianns telah bertindak di luar batas kewajaran.

Lagi-lagi, ketiadaan pelayan kampus dalam kejadian ini sungguh memilukan. Jangan sampai definisi kebebasan ekspresi ini menjadi ’pasar bebas’  klaim masing-masing pihak. Ah, sudahlah. Yang terpenting, jangan mau menjadi Indonesia idiot. Ladang masih luas, silahkan cari kebenaran itu. Jangan lelah, bro. Selamat berpikir dan Selamat Hari Kemerdekaan Pers Dunia (3/5/2015).

*Penggiat Persma

Foto: https://idiotchildco.files.wordpress.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.