Pak Aan yang Sibuk Bermain Buku

0

Pak Aan, yang tidak mau difoto, sibuk melakukan sesuatu.

MALANG-KAV.10 Sore itu gerimis, jalan-jalan mulai di basahi rintik hujan yang berjatuhan perlahan. Hari itu Kamis (23/4) sekitar pukul 4 sore Pasar Buku Wilis terlihat sepi. Sore itu sudah tak banyak pengunjung yang datang, beberapa kiospun sudah tutup.  Memasuki lorong-lorong pasar yang lenggang, beberapa pedagang kios yang masih buka sibuk menawarkan buku-bukunya, sambil menanyai pengunjung yang tinggal beberapa itu “Cari apa mbak, mas? ”

Menuju pojok lorong pasar, sebuah kios memajang buku yang berbeda dari yang kios-kios lain tawarkan. Terpajang di rak paling atas, sebuah buku tebal hardcover berwarna merah, Suparto Brata – Kremil, buku sastra yang sudah jarang sekali beredar di pasaran. Di dalam kios, seorang penjaga toko sedang sibuk memasukkan buku-buku kedalam rak-rak kayu bercat hijau. Rupanya baru pindah kios “Baru pindah sekitar 10 hari yang lalu,” katanya. Kios tersebut berada di pojok lorong, samping toilet umum dan mushola.

Pria itu adalah Aan Anshori, yang akrab dipanggil Pak Aan. Umurnya 43 tahun, dan telah lama berkutat dengan buku. “Saya mulai berkecimpung dengan dunia buku sudah sejak tahun 1998, ” begitu ujarnya. Ia juga menambahkan, saat itu ia bekerja pada sebuah penerbit di Jogja sebagai staf pemasaran.  Kantor penerbitan itu bernama Insist. Lalu beliau ditugaskan untuk membuka cabang di Malang sekitar tahun 2005, tapi setahun kemudian ditutup karena alasan keuangan. Sambil menghebuskan asap rokok dari mulutnya ia bercerita “Dulu saya dikasih dua pilihan, mau balik ke jogja atau mundur (dari penerbit-red) dan melanjutkan bisnis buku sendirian. Saya pilih mundur dan bikin usaha sendiri,” begitu tuturnya.

Usahanya terus berkembang perlahan, seperti yang ia ceritakan, dulu ia berjualan keliling, mengikuti bazar-bazar dan pameran buku, di sekolah, kampus, pesantren dan lain lain. Namun sejak 2011 ia berhenti berkeliling. Pada tahun tersebut ia menetap di kios buku di Pasar Buku Wilis, meskipun pernah juga berpindah-pindah kios di pasar tersebut. Kiosnya bernama Sibuk Main Buku.

Jika kebanyakan penjual di Pasar Wilis menjual buku-buku sekolah dan beberapa sastra namun bajakan, Pak Aan mengambil jalan berbeda. Sejak dulu ia tertarik pada buku buku sosial, filsafat, sejarah, sastra, kebudayaan, dan teori teori untuk referensi. Ia hanya menjual buku asli, bukan fotokopian, baik bekas maupun baru. Ia bercerita bahwa buku yang banyak dicari adalah buku-buku filsafat. ” Buku filsafat itu dari dulu disenangi, baik teorinya, biografi tokohnya, karyanya juga. Karena filsafat itu basis dari segala ilmu. Dulu ada mahasiswa dari Brawijaya, dia ngambil Nietzsche, harganya mahal 250 ribu namun tetap dia beli. Saya tanya kenapa nekad beli, dia bilangnya soalnya udah kepikiran terus dari dulu. Yasudah saya kasihkan, meskipun itu sebenarnya koleksi saya,” begitu ungkap pria yang pernah kuliah di jurusan Komunikasi UGM tersebut.

Menurut Pak Aan, buku bukan hanya lembaran-lembaran kertas yang dijadikan satu. Buku adalah sesuatu yang bernyawa, dia hidup dan suatu saat akan menemukan tuannya sendiri “Saya kalo jual buku koleksi itu lihat-lihat orangnya, pantes gak dia buat buku ini, kalau pantas ya saya lepas. Tapi sulit juga ngukur begini,”

Pak Aan mengaku bahwa ia bukanlah kolektor buku, ia hanya tidak mau melepas buku ke sembarang orang. Ia juga memanfaatkan teknologi internet untuk memasarkan buku-bukunya, karena memang dirasa perlu. (ziz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.