Insya Allah dan Harga Sebuah Kepastian

1

Oleh Gibran*

Setiap hari, dengan mudah dapat kita dengar frase Insya Allah diucapkan baik oleh lawan bicara maupun orang lain yang sedang berbincang dalam jangkauan pendengaran kita. Uniknya, belakangan ini tidak hanya yang beragama Islam menggunakan frase ini, juga penganut agama-agama lain. Jika diamati, frase Insya Allah banyak digunakan ketika seseorang diminta untuk menunjukkan sikap, keyakinan, pengetahuan, atau hal-hal lain yang terkait dengan kepastian melalui jawaban atas pertanyaan yang diajukan lawan bicara. Misalkan saja, seorang kawan bertanya “nanti malam kita jadi ngopi kan?” dan yang ditanya menjawab, “Insya Allah”. Atau ketika ditanya “rokok A harganya sebungkus sekarang berapa?” lalu dijawab “Insya Allah Rp 10.000,-.”

Sayangnya, hingga kini belum pernah ada (setidaknya penulis belum pernah menemui) hasil penelitian mengenai penggunaan frase ini. Pertanyaannya sederhana saja, seberapa besar tingkat kepastian seseorang yang menggunakan frase Insya Allah dengan pelaksanaannya. Berhubung tidak ada data konkret yang bisa dijadikan rujukan, maka tidak ada salahnya bila pengalaman-pengalaman pribadi penulis dijadikan sumber. Kiranya pembaca sepakat, seringkali bila sebuah janji diawali dengan frase Insya Allah, 60-70% kemungkinan janji tersebut tidak ditepati, atau setidaknya meleset dari rencana awal. Misalkaan seseorang berjanji (dengan Insya Allah) akan datang pada pukul 07.00, maka 60-70% orang itu tidak akan datang atau setidaknya datang tidak tepat waktu. Ini tentu saja dengan mengamati orang kebanyakan, tentunya ada pula yang benar-benar memegang teguh janji tersebut.

Bila diterjemahkan, frase Insya Allah yang secara bebas berarti “jika Allah mengijinkan”. Hal ini juga sering diajarkan oleh guru-guru agama kita di sekolah. Memang, dalam menggunakan frase ini terkandung semangat sikap rendah hati. Bahwa upaya manusia tidak lepas dari ridha Allah. Demikian halnya apabila seseorang membuat janji atau mengungkapkan sesuatu, maka dengan diawali dengan Insya Allah itu berarti atas seijin Allah orang tersebut akan menepati janjinya atau atas seijin Allah pula kepastian yang diungkapkannya bernilai benar.

Namun apa jadinya jika kemudian orang tersebut tidak menepati janjinya? Dengan analogi yang sama, berarti Allah sedang tidak memberi ijin untuk tepat janji. Berarti jika kita mengucapkan Insya Allah akan pergi ngopi tapi tidak jadi datang, ternyata Allah sedang tidak berkenan mengijinkan kita ngopi. Sedangkan di kos kita mengganti agenda yang seharussnya di warung kopi bersama teman-teman dengan main game. Padahal, disebutkan bahwa Allah tidak pernah ingkar janji kepada umatnya, mengapa pula Allah tidak mengijinkan umatnya untuk menepati janji kepada teman?

Dari analogi diatas, sebenarnya tidak ada yang salah dengan terjemahan bebas Insya Allah sebagai “jika Allah mengijinkan”. Namun yang perlu dipahami adalah makna frase ijin disini yang diberikan Allah melalui kehidupan itu sendiri. Sedangkan kehidupan meliputi segenap daya dan upaya manusia yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Maka dari itu, jika Allah tidak mengijinkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan, kiranya kehidupan itu sendiri yang diambil-Nya dari orang tersebut, alias kematian menjemputnya. Karena ijin sama dengan kesempatan, dan kesempatan adalah kehidupan itu sendiri. Maka dari itu, menggunakan frase Insya Allah sebagai alasan seseorang untuk ingkar janji tidak hanya melecehkan Allah, namun juga merupakan apa yang disebutkan ulama-ulama di TV sebagai tidak mensyukuri nikmat.

Kajian Kebiasaan

Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia menjelaskan bahwa salah satu ciri orang Indonesia adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Ketika melakukan kesalahan, dengan mudah orang Indonesia akan melimpahkan kesalahan kepada orang lain dan orang lain kepada orang yang lain lagi. Dengan demikian, mudah dipahami bahwa ketika orang Indonesia mengucapkan Insya Allah, itu tidak berarti kepastian, hanya mengesankan sebagai hal yang pasti. Jika kemudian ditagih omongannya, dia akan berucap “kan kemarin aku bilang Insya Allah”.

Sementara Profesor Hisanori Kato, seorang Jepang yang pernah tinggal dan mengajar selama beberapa tahun di Jakarta, menceritakan pengalamannya selama di Indonesia dalam bukunya berjudul Kangen Indonesia. Ada banyak hal, baik dan buruk, yang diungkapkan didalamnya. Salah satunya tentang kebiasaan orang Indonesia menggunakan frase Insya Allah. Dalam pengalamannya ketika membuat janji dengan seseorang, orang tersebut mengucapkan Insya Allah. Saat itu Kato tidak tahu apa artinya karena setahunya, orang membuat janji dengan mengucapkan ‘ya’ atau ‘tidak’. Hingga akhirnya pada waktu yang ditentukan, orang yang mebuat janji tidak datang.

Hingga kemudian melalui Gus Dur dia mendapat pemahaman mengenai frase Insya Allah tersebut. Dijelaskan Gus Dur bahwa “Yang terakhir Allah yang menentukan, tetapi sampai batas itu manusia harus berusaha dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya,” demikian pesan Gus Dur pada Kato. Hingga Kato membuktikan ucapan Gus Dur di kemudian hari, ketika dia menjumpai orang Islam yang benar-benar menepati ucapan dan janjinya.

 

*Juga Hamba Allah

Mahasiswa Universitas Brawijaya

1 thought on “Insya Allah dan Harga Sebuah Kepastian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.