Iklan: Konsep Tubuh Perempuan Sempurna
Oleh: Elyvia Inayah*
“Karena putih itu cantik”. Begitu bunyi tagline sebuah produk sabun kecantikan disusul tampilan seorang model perempuan berkulit putih mulus bak wanita Jepang berjalan dengan tubuh langsingnya. Terakhir, terlihat seorang pria yang hampir tidak berkedip karena takjub dengan kecantikan perempuan tersebut. Seolah-olah hanya perempuan yang berkulit putih mulus dan bertubuh langsing tersebut yang mampu mengalihkan perhatian semua pria.
Tagline iklan itu akhirnya lama-lama diganti dengan menggantik kata ‘cantik’ dengan merek sabun yang dipromosikannya, tanpa menghilangkan sama sekali tentang konsep putih dengan model perempuan berkulit putih dan bertubuh langsing. Iklan ini bukan satu-satunya, ratusan produk kecantikan dipastikan membuat konsep cantik serupa. Cantik itu putih, cantik itu langsing.
Konsep cantik ini pun akhirnya diserap secara tidak langsung oleh audiens media baik media cetak dan elektronik, terutama televisi yang setiap hari pasti dikonsumsi. Pengulangan iklan yang cukup intens berpengaruh terhadap daya ingat, sehingga iklan yang disajikan media berhasil memberikan pemikiran tentang konsep cantik tersebut secara massive kepada masyarakat, khususnya perempuan.
Alhasil, para perempuan baik remaja sampai ibu-ibu berlomba-lomba untuk terlihat cantik, tentu saja sesuai dengan konsep iklan yang ditontonnya. Mereka membeli sabun pemutih, kosmetik pencerah wajah, sampai susu khusus pelangsing tubuh atau obat-obatan lain yang membuat mereka sempurna seperti perempuan dalam iklan. Tidak ada alasan lain, selain agar lawan jenis tertarik.
Fenomena ini akhirnya membudaya dalam masyarakat dan mereka menerima konsep cantik yang disuguhkan oleh iklan. Perempuan-perempuan di kota-kota besar jarang yang berpenampilan tidak menarik, hampir semua sempurna seperti apa yang iklan gambarkan. Karena mereka lah yang memiliki kesempatan untuk cantik sesuai iklan.
Berbeda dengan perempuan desa yang cenderung diidentikkan dengan polos, hitam manis, tidak fashionable, tidak langsing dan tidak putih. Kesenjangan kecantikan ini akhirnya benar-benar terjadi di masyarakat kita. Lagi-lagi iklan-lah pengaruhnya.
Lalu bagaimana industri mengambil keuntungan dari situasi seperti ini? Mengutip dari situs melekmedia, dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri, maka secara massal hal ini akan memunculkan kebutuhan untuk “menyempurnakan” dirinya. Kebutuhan ini lalu ditangkap oleh industri, misalnya industri kecantikan yang akan menawarkan janji-janji menuju kesempurnaan melalui produk yang mereka jual.
Melalui iklan, produk-produk tersebut kemawarkan kebahagiaan, kesuksesan, dan kesempurnaan yang diimpikan orang karena ketidakpuasan yang timbul akibat pesan iklan pula. Iklan, menjadi salah satu media utama yang mempengaruhi pencitraan tubuh, baik bagi perempuan juga laki-laki.
Melihat realita tersebut, bukan berarti membuat setiap orang sadar. Namun pendidikan sejak dini akan konstruksi media lewat iklan menjadi penting, mengingat tingkat konsumerisme demi kesempurnaan tubuh adalah hal yang paling dinanti oleh industri. Secara tidak langsung, audiens menjadi ‘pembeli buta’ yang percaya saja dengan apa yang disampaikan iklan.
Sebelum iklan, budaya terdekat kita tidak pernah mengajarkan akan menjadi putih dan menjadi langsing untuk sebuah harga kecantikan. Budaya akan menilai dengan sendirinya tentang perempuan cantik karena kepatuhannya akan agama, kepatuhannya akan norma, dan kepatuhannya akan adat.
Lalu, coba kita lihat kembali, berapa persen perempuan Indonesia yang memiliki kulit seputih model perempuan dalam iklan kecantikan? Jika memang hanya sebagian, lalu apakah sisanya dianggap tidak sempurna karena tidak putih dan tidak langsing?
“Definisi cantik, tampan atau menarik itu sendiri sangat relatif dan berbeda, tergantung pada latar budaya mana kita memandangnya.” ~ melekmedia
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi UB 2010